Senin, 12 Maret 2012

SEJARAH KERAJAAN GUNUNG SAILAN


KERAJAAN GUNUNG SAILAN KAMPAR KIRI
                       
                                   Istana Kerajaan Gunung Sailan Rantau Kampar Kiri
Kerajaan Ke­rajaan Gunung Sahilan secara ilmiah historis baru dtercatat pada masa colonial Belanda, pada waktu itu kerajan Gunung Sahilan berada di bawah ke­kuasa­an Sultan Abdul Jalil bin Yang Dipertuan Hitam pada tahun 1905 me­­nandatangani Korte Verklaring dengan pemerintah Belanda. Pada tahun 1930, Yang Maha Mulia Tengku Sulung yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Besar dan Yang Maha Mulia Tengku Haji Abdullah yang bergelar Tengku Yang Dipertuan Sakti dinobatkan menjadi raja dengan mengadakan upacara besar-besaran (lihat Lutfi, “Sejarah Riau”).
Kerajaan Gunung Sahilan berdiri pada awal abad ke 16 sebagai kerajaan vazal dengan raja pertamanya adalah Raja Bujang Sati yang merupakan anak Raja Pagaruyung. setelah runtuhnya kerajaan Pagaruyung, akibat perang paderi maka Kerajaan Gunung Sahilan merdeka secara Depakto dan Deyure. Semenjak berdiri sehingga berintegrasi dengan NKRI, Kerajaan Gunung Sahilan diperintah oleh 12 orang Raja/ Sultan dengan gelar Raja : Tengku yang dipertuan Besar.
Sebagai sebuah kerajaan/Negara berdaulat tentunya kerajaan Gunung Sailan memiliki wilayah Negara/territorial yang meliputi seluruh Rantau Kampar Kiri. Secara adat Rantau Kampar Kiri Memiliki dua daerah Besar yaitu di sebut daerah Rantau Daulat dan Rantau Andiko.
Rantau Daulat adalah adalah daerah pusat Kerajaan yang terdiri dari, Mentulik, sijawi-jawi, simalinyang, sungai pagar, Gunung sailan, subarak, lipatkain dan lubuk cimpur. Sedangkan Rantau andiko adalah daerah 4 khalifah dimudiak yaitu, Kekhalifaan kUntu, Ujung Bukit, Khalifah Batu Songgan, Dan Kekhalifaan Loedai.
1.    Kehalifaan Loedai di berpusat di Koto Loedai dengan Khalifahnya Dt. Maharajo Besar
2.    Kekhalifaan Batu Songgan berpusat dikenegerian batu songgan dengan Khalifanya Dt Godang
3.    Kekhalifaan Ujung Bukit berpusat di Tg Belit dengan Khalifah Dt Bendaharo
4.    Kekhalifaan Kuntu yang berpusat di Negeri Kuntu dengan Khalifanya Dt Bandaro

Sistem Pemerintahan Adat
Sistem pemerintahan adat mencakup semua pranata yang ber­hubungan dengan susunan organisasi, tata kerja, formasi aparatur, tugas/kewajiban, wewenang dan tanggung jawab, serta hubungan kerja dari badan-badan yang ada.
Kedudukan tertinggi dalam pemerintahan adat adalah sultan. Se­­bagai raja, ia adalah penguasa tertinggi di bidang politik, adat, agama, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Kedudukan raja dida­pat­kan karena keturunan. Akan tetapi tidak ber­arti bahwa se­mua ke­turunan raja dapat menjadi raja/sultan. Kedudukan raja baru sah bila sudah mendapat pengesahan (legitimasi) yang sesuai dengan suatu prosedur yang telah ditetapkan oleh adat, antara lain melalui upacara penobatan. Seseorang yang telah dinobatkan menjadi raja berarti telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan menurut adat, seperti telah dewasa, berakal budi, adil dan bijak­sana, berilmu (tahu akan undang-undang, hukum adat dan pu­saka, serta paham akan agama), berwibawa, terampil dalam ilmu bela diri dan ilmu ke­­batinan, dan ahli perang. Sebenarnya syarat kepemimpinan itu hampir semuanya merupakan syarat bagi pe­mimpin adat lainnya. Per­bedaannya, kalau raja diresmikan dengan upacara penobatan, sedangkan pemimpin-pemimpin adat lainnya dengan upa­cara peng­angkatan dan peresmian.
Sesudah dinobatkan, raja mempunyai wewenang untuk memim­pin secara resmi. Namun wewenang raja, di Kerajaan Kampar Kiri, tidak penuh (otokrasi). Dalam mengambil keputusan maupun melaksanakannya, ia harus mendapat persetujuan dewan tertinggi bernama Kerapatan Khalifah.
Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan/raja dibantu oleh se­­orang khadi untuk bidang agama. Di Kampar Kiri, raja dibantu oleh seorang saudagar yang mengurus bidang perdagangan atau eko­­nomi. Khalifah di Kerajaan Kampar Kiri, seperti camat atau bu­pati sekarang. Seperti halnya raja, Urang Godang dan Kha­lifah tidak berhak mencampuri urusan dalam nagari ataupun koto yang berada di bawah pengawasannya secara langsung tan­pa persetujuan Dewan Menteri. Raja dan Urang GodangKha­lifah tidak lain hanya sebagai badan peng­awas, pengatur, atau ko­ordinator terhadap dae­rah yang ada di bawah kekuasaannya.
Selain itu, Khalifah Kampar Kiri juga bertugas membantu raja da­lam menyelesaikan masalah-masalah tertentu. Sebagai contoh, Kha­­lifah Kuntu yang bergelar Datuk Bandaro mempunyai tugas dan kewajiban menyelesaikan perkara adat. Apabila Khalifah Kuntu ditugaskan menyelesaikan ma­salah adat dalam musyawarah Majelis Dewan Menteri Kerajaan Kampar Kiri, maka bendera (tong­gou) yang berdiri adalah bendera Khalifah Kuntu. Begitu pula dengan tugas datuk-datuk lainnya. Datuk Godang Khalifah Batu Sanggan berkewa­jiban menyelesaikan perkara pidana, Datuk Marajo Basa Khalifah Ludai menyelesaikan masalah keamanan, dan Datuk Bendahara Kha­lifah Ujung Bukit menangani urusan syarak (agama). Sebenarnya sistem pemerintahan itu berpedoman pada sistem pemerintahan adat di Minangkabau yang dikenal dengan Basa Ampek Balai (Tengku Ibrahim, 1939).
Landasan aturan bagi wewenang pejabat-pejabat adat diungkap­kan dalam ungkapan adat “Rantau dituruik dengan undang, na­gori batunggui jo pusako, kampung dilimbak jo limbago, yang ber­arti “Rantau diperintah raja, luhak diperintah orang besar, nagori di­­perintah penghulu, kampung diperintah orang tua”. Selain itu ter­dapat kalimat-kalimat sumpahan nenek moyang yang dipatuhi oleh setiap generasi, yang berbunyi “Undang-undang basimpuah janji, cupak baparbuatan, sumpah manua parbakala. Kalau rajo manguih dimakan biso kawi, kalau khalifah manguih dimakan sumpah. Manokalo penghulu manguih dimakan perbuatan. Kalau urang banyak manguih dimakan kutuak kalamullah saribu malam”. Kalimat-kalimat tersebut berarti “Kalau melanggar sumpah akan terkena bisa kawi, khalifah akan dimakan sumpah. Apabila penghulu melanggar sumpah akan dimakan perbuatan. Kalau orang banyak me­langgar sumpah akan dikutuk Tuhan sepanjang hidup”.
Dari urutan struktur organisasi pemerintahan adat di atas, maka yang benar-benar mempunyai hak otonomi adalah nagari-nagari atau kotokoto. Nagari berhak penuh mengatur ke dalam maupun ke luar. Raja dan Urang Godang/Khalifah tidak mempu­nyai wewenang secara langsung untuk mencampuri urusan dalam setiap nagari. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan di kedua kerajaan itu mengandung ciri-ciri demo­krasi. Raja duduk di atas tahta kerajaan atas persetujuan peng­hulu-penghulu (datuk-datuk) yang merupakan wakil dari seluruh penduduk nagari. Hal ini didasari oleh perjanjian dan sumpah sakti pada waktu upacara penobatan yang disaksikan oleh roh-roh nenek moyang mereka. Oleh sebab itu, muncul pepatah yang berbunyi “Rajo adil rajo di­sambah, rajo zalim rajo disanggah”.
Penghulu kepala atau penghulu pucuk adalah penghulu segala penghulu yang ada dalam setiap nagari. Dalam setiap nagari paling tidak terdapat empat suku. Masing-masing suku klan) ini dipimpin oleh seorang penghulu suku yang bergelar datuk. Perkembangan jumlah penduduk dan daerah pemukiman menyebabkan jumlah suku dalam satu nagari lebih dari empat suku nagari, misalnya saja di Lipat Kain (Kampar Kiri) terdapat sembilan suku dan di Gunung Sahilan terdapat delapan suku. Dalam melaksanakan tugas dan ke­wajibannya, setiap penghulu suku dibantu oleh tiga orang pejabat adat. Penghulu suku di Rantau Kuantan dibantu oleh monti, hulu­ba­lang, dan malin. Adapun penghulu suku di Kampar Kiri dibantu oleh pucuak kampuang, hulubalang, dan malin/pandito.
Seperti halnya dengan urang godang/khalifah, maka penghulu ke­pala (penghulu pucuak) dan penghulu suku beserta tiga orang pem­­­bantunya duduk di jabatan adat tersebut setelah diangkat atas da­sar garis keturunan (matrilineal) dari suku tertentu pada satu rumah soko (perut) atau menurut garis keturunan ibu. Jabatan penghulu ke­pala/pucuak nagari (penghulu pucuak) dan penghulu suku disahkan dengan upacara adat memotong kerbau. Orang yang dipilih dari ke­turunan satu perut (asal satu soko) adalah orang-orang yang me­menuhi syarat kepemimpinan adat (Rahim A. dkk., 1983/1984).
Pengangkatan tiga pejabat adat pembantu penghulu suku tidak memerlukan upacara seperti di atas. Tugas monti (pucuak kampuang) adalah sebagai pejabat eksekutif, hulubalang  bertugas di bagian ke­amanan, dan malin bertugas dalam urusan agama, sedangkan peng­hu­lu suku bersama-sama dengan penghulu-peng­hulu suku dalam ne­­­geri lainnya serta penghulu pucuk merupakan lembaga legislatif. Lembaga legislatif mengadakan kerapatan adat di balai adat nagari (soko). Penghulu kepala/penghulu pucuak tidak boleh menjalankan apa saja tanpa melalui musyawarah se­mua penghulu suku terlebih da­hulu. Begitu juga suara yang di­bawa oleh penghulu suku dalam ke­­­­rapatan nagari adalah suara keputusan musyawarah dalam suku­­­nya.
Hak seorang penghulu suku antara lain adalah memungut manah (memungut pajak) yang berjumlah “sapuluh satu”, artinya 10%. Ung­kapan seperti “Ka rimbo babungo kayu, ka tambang babungo ameh, ka ladang ampiang” menunjukkan bahwa penghulu suku ber­hak me­mungut pajak atas beberapa hasil. Hak lain adalah uang ganti rugi retribusi yang dikenakan bagi orang luar yang membuka hutan untuk berladang di tanah ulayatnya.
Selain itu, dalam mengerjakan sawah ladangnya, penghulu berhak dibantu oleh penduduk, terutama keponakannya secara sukarela. Tanah, pekarangan, istana raja, dan istana khalifah di­garap tiga kali se­tahun. Pendapatan raja lainnya berasal dari mo­no­poli penjualan ga­ding gajah. Gading gajah dibeli oleh raja dengan harga setengah dari harga pasaran. Di Kampar Kiri, raja memonopoli penjualan emas. Pendapatan raja yang besar adalah dari hasil sawah ladang dan ternaknya sendiri. Sesudah Belanda masuk, hak raja untuk monopoli dan hak pancung alas (pajak hutan/kayu) dihapuskan.
Syarat berdirinya sebuah nagari yaitu terdapat masjid, balai adat, lapangan, dan pasar labuah nan ramai). Antara bidang ekse­kutif (rumah gadang), legislatif (balai adat), ekonomi (pasar/labuah), serta agama (masjid) saling terkait. Empat sarana tersebut menjadi syarat utama bagi terbentuknya sebuah pemerintahan adat.
Sebuah nagari terdiri dari koto, kampuang, dusun, dan teratak. Sebuah nagari dapat terdiri dari beberapa koto karena perkem­bang­annya. Koto biasanya sebagai pusat pemukiman dan di situ ter­dapat balai adat, masjid, lapangan, dan jalan yang agak ramai. Koto adalah tempat berdirinya masjid nagari, balai adat, dan rumah gadang (soko) setiap suku. Dulu mungkin ada tanah ulayat suku, tetapi sekarang yang tinggal hanyalah ulayat kuburan suku. Oleh karena nagari-nagari di kedua daerah ini terletak di pinggir sungai, biasanya lokasi koto itu terletak di daerah yang lebih tinggi dari lainnya. Barangkali hal ini ada hubungannya dengan pan­dangan tra­disional yang ber­anggapan bahwa tempat yang tinggi dipandang lebih suci. Alasan lain adalah untuk menghindari bahaya banjir.
Koto dibagi lagi dalam beberapa kampung. Penduduk dalam satu kampung merupakan satu kesatuan suku. Pola perkampung­an me­ngelompok menurut suku (klan), kemudian karena per­kem­bangan dan mobilitas penduduk, pola perkampungan yang mengelompok ini berubah. Pengelompokan ini ada hubungannya dengan sejarah ter­jadinya sebuah nagari yang dimulai dengan pem­bukaan hutan oleh beberapa keluarga. Proses pertama mem­bangun teratak, kemudian berubah menjadi dusun dan kampung serta seterusnya menjadi koto. Akhirnya, koto dapat berkembang men­jadi nagari.
Ladang dan sawah terletak di luar koto. Perladangan dibangun dengan jalan menebang hutan secara bersama-sama oleh kelompok banjar. Pola seperti ini ada di kedua daerah tersebut (Rahim A. dkk., 1984/1985). Pada zaman dulu, setiap koto diberi parit atau pagar yang terbuat dari kayu, bambu, dinding batu, atau tanah liat untuk men­jaga ke­amanan. Daerah sekitar koto, termasuk dusun, te­ratak, tanah perladangan/sawah, hutan serta sungai-sungai yang ada dalam lingkungan nagari adalah tanah ulayat nagari. Semua warga masyarakat nagari berhak menikmati hasil serta apa saja yang hidup dan ada di atasnya. Bagi orang luar yang memungut hasil atau meng­olah tanah wajib membayar retribusi kepada peng­hulu. Tanah milik pribadi tidak dikenal, kecuali hak milik terba­tas, sedangkan tanah pusaka merupakan tanah komunal yang hak pakainya turun-temurun. Dalam perkembangannya, ke­mudian ada tanah yang di­beli, disewakan, atau dipinjamkan. Se­telah ber­lakunya UUPA 1960, tanah jenis ini dikenal sebagai tanah hak milik bebas.
Pemimpin di bidang agama dalam sebuah kerajaan adalah khadi yang berkedudukan di ibu kota kerajaan. Ia bertugas dan berwenang me­laksanakan hal-hal yang berkaitan dengan masa­lah agama, misalnya mengawinkan orang, membacakan doa pa­da upacara penobatan raja, serta upacara-upacara kerajaan lain­nya seperti pernikahan raja, pernikahan anggota keluarganya, dan pernikahan pembesar-pembesar istana lainnya. Tugas khadi juga mengumpulkan semua zakat fitrah ma­syarakat, termasuk da­ri anggota keluarga raja. Sebagian dari dana yang terkumpul digunakan untuk kepentingan agama, seperti mem­­ba­ngun masjid di ibukota kerajaan atau disumbangkan kepada pembangunan masjid-masjid lainnya.

5. Kedudukan Dan Pengaruh Adat Dalam Pemerintahan Sekarang
Kedudukan dan pengaruh kaum adat mulai mengalami gon­cang­an setelah masuknya tentara Jepang pada tahun 1942 dan se­ma­kin bergeser setelah masa Revolusi Kemerdekaan Republik In­­­do­nesia tahun 1945–1950. Kedua daerah bekas kerajaan ini di­jadi­kan kawedanan. Kekuasaan kaum adat digantikan administrasi pe­me­rintahan Republik Indonesia. Keadaan ini merupakan suatu revo­lusi, yaitu perombakan total. Daerah yang sebelumnya merupakan se­buah kerajaan sekarang hanya men­jadi kawedanan. Fungsi raja dan urang godang/khalifah diha­pus sama sekali, se­dang­kan fungsi peng­hulu kepala/pucuak nagari diubah menjadi wali nagari. Jabat­an ini tidak lagi ditentukan menurut garis keturunan, tetapi atas dasar pemilihan oleh rakyat menurut kemampuan dan republiken. Pemilihan wali nagari berpedoman pada Indische Staats Regeling Pasal 128. Masyarakat desa berwenang memilih kepala desa yang dikehendakinya yang pelaksanaannya ditetapkan oleh bupati sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
Kedudukan kaum adat pada masa sebelum kebijakan Pelita ada­lah membantu kepala desa dalam wadah Lembaga Masya­rakat Adat. Meskipun kaum adat hanya berfungsi sebagai pem­bantu dan bukan lagi sebagai pengambil keputusan, akan tetapi pengaruh dan peran mereka dalam masyarakat masih besar. Kalau berbicara tentang kaum adat, berarti juga membica­rakan tentang kaum ulama. Dengan kata lain, kaum adat dan kaum ulama sebelum Pelita berada dalam satu kesatuan yang kokoh.
Sesudah keluarnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 Pasal 4 tentang Pemerintahan Desa, di samping kepala desa ter­dapat suatu lembaga yang berfungsi sebagai pembantu kepala desa dalam pembangunan yang bernama Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Lembaga ini dijadikan wadah tokoh-tokoh masyarakat pe­desaan yang ditunjuk oleh kepala desa/lurah dengan persetujuan camat. Fungsi LKMD adalah untuk mem­bantu kepala desa/lurah da­­­­lam melaksanakan pemba­ngunan. Masa­lahnya sekarang adalah bah­wa tokoh adat yang duduk pada lembaga terbatas jumlahnya. Mereka tidak dapat mewakili semua tokoh adat yang ada di desa. Ber­dasarkan penelitian tahun 1981, proses pemilihan tokoh adat yang duduk di LKMD bukan melalui kesepakatan semua tokoh adat di desa, tetapi atas dasar penunjukan. Akibatnya, partisipasi masyarakat da­lam pem­ba­ngunan tidak seperti yang diharapkan, meskipun hal ini tidak ter­jadi di semua desa. Seperti diketahui, peran dan pengaruh tokoh adat masih besar pada sebagian besar desa di Riau (Rahim A. dkk., 1981/1982). Barangkali perlu dicari jalan keluar yang lebih baik agar partisipasi aktif dari semua lapisan masyarakat dalam pem­­­bangunan ini dapat meningkat dan menyeluruh, sehingga hal yang ingin dicapai dalam pembangunan desa betul-betul menjadi kenyataan. (Dari berbagai Sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar